This
Is My Life
Cast : - Lee Yumi
- Cho Kyuhyun
- Lee Yuki
- and others
Genre : Family life, romance
PG17
*Happy
Reading*
Aku tak pernah terpikirkan akan seperti ini sebelumnya. Aku
juga tidak pernah mengharapkannya, tentu saja. Tapi, ini terjadi. Inilah
hidupku, takdirku...
~~~
“Ku mohon, pikirkanlah sekali lagi.” Pintanya sungguh-sungguh. Aku hanya terdiam tanpa memberi
komentar apapun. Bisu dan seolah tuli, padahal hatiku berkecamuk saat ini.
“Yumi-ya..”
panggilnya lagi.
“Nde, aku dengar. Dashi saenggakhalkkeoya, kidaryojwo ( Akan kupikirkan lagi, tunggulah)”, jawabku menunda waktu. Meskipun aku sadari, dia akan tetap
menunggu sampai aku buka suara.
Seketika, pikiranku terbang kembali ke
masa lalu...
Flashback
start –Lee Yumi, 17 tahun-
“Bagaimana kalau ayah-ibumu berpisah?” Tanya imo (bibi dari ibu)-ku di hadapan ku dan Eomma.
Huh, ige mweoya (apa ini)? Apa yang
terjadi?..
“Aku tak tahu, imo”.
“Dan andaikan kau disuruh memilih, kau akan ikut siapa?” tanyanya lagi sambil menatapku.
“Tak tahu”.
Jawabku singkat, tak menginginkan pembicaraan ini lebih lanjut.
Beberapa hari setelah percakapan itu,
Appa memanggilku ke ruangan kerjanya “
Coba baca ini!” Perintahnya dengan suara dingin dan
tertahan. Setelah ku baca, keningku berkerut. Aku sungguh mengerti kata-kata
dan kalimat yang tertulis di dalamnya. Tapi, aku tidak pernah menyangka tulisan
itu akan datang setelah begitu lamanya aku terlahir dari rahim ibuku. Surat
gugatan cerai.
Masih begitu ku ingat masa kecilku yang
tak jelas, apakah itu indah atau suram. Memang dari dulu eomma-appa selalu
bertengkar, tapi tak pernah sampai mendatangkan surat cerai seperti sekarang
ini.
Aku pun pernah merasakan kelamnya saat
itu. Dimana appa mengamuk di tengah malam sambil mengeluarkan semua pisau yang
ada di dapur dan meletakkannya di hadapan eomma. “Ayo, pilih! Yang mana yang akan kau hunuskan padaku!” Titahnya berteriak pada eomma. “ Kenapa? Kau menangis?! Air mata buaya!!” Suara appa malam itu bergema di seluruh rumah kecil kami.
Mendengar appa dan eomma seperti itu
sungguh membuatku ingin mati malam itu juga. Bagaimana tidak? Seorang anak 12
tahun harus terbangun di tengah malam dan di kejutkan dengan suara besi pisau
yang beradu. Menangis? Tentu saja. Ingin rasanya saat itu aku berteriak atau
kabur dari rumah. Tapi, mau kemana aku? Di kota besar seperti Seoul yang padat
ini aku tak tahu harus kemana. Sanak keluargaku tinggal jauh di Busan atau
Jeju.
Atau peristiwa kemarahan appa padaku
hingga aku harus merasakan sakitnya dilempar ke ranjang karena terlambat
bangun. Aku masih ingat semuanya dengan jelas.
“Bagaimana tanggapanmu?” tanya appa mengaburkan memori masa laluku.
“Entahlah appa, aku tidak tahu apapun tentang hal ini.” Jawabku pelan sambil menunduk.
Meskipun aku tahu apa yang tertulis di
atas kertas itu benar adanya. Appa yang sering mabuk, juga beberapa hal
lainnya. Parahnya, dulu aku-lah yang harus mennjemput appa ke bar karena pulang
terlalu larut. Ya, eomma menyuruhku menjemput appa ke bar. Sesuatu yang begitu
tabu bagi seorang anak kecil seusiaku dulu. Tapi, tentu aku tak masuk ke dalam
bar. Hal itu dilarang, bukan?! Aku hanya menunggunya tak jauh dari bar
favoritnya, lalu menelponnya mengatakan bahwa aku sedang menunggunya. Hampir
tiap hari. Tapi, itu masalah dulu. Ketika kami masih tinggal di Seoul.
Begitu aku masuk senior high school,
kami pindah ke Busan. Ketika itu, aku telah memiliki adik yang usianya terpaut
begitu jauh dariku. Aku senior high school, adikku elementary. Sekitar 10
tahun. Kami juga jarang akur. Sebenarnya kami saling menyayangi, terbukti saat
kami berjauhan. Cukup seminggu, maka akan terlontar kata rindu antara kami
berdua. Tapi, begitu berdekatan entah mengapa aku selalu tergoda untuk menjahilinya.
Dan, hasilnya dia pasti menangis. Lee Yuki, adikku satu-satunya.
~~~
“Kau lihat sendiri, kan?! Kau sudah membacanya, bukan?! Apa
lagi yang harus appa tunggu di rumah sialan ini?” Sentak appa ketika aku melihatnya mengemasi semua
barang-barangnya. Tas, pakaian, sepatu, berkas-berkas dokumennya, semuanya.
“Tapi, appa mau kemana?” Tanyaku.
“Kemana saja, asal jangan di rumah ini!” geramnya.
~~~
“Ya, kau lihat sendiri-lah apa yang sudah dilakukan appamu
itu. Memunguti semua barangnya ketika tak ada siapa pun di rumah. Dia hanya
pamit padamu, kan?! Itu pun karena kamu sedang ada di rumah.” Ujar eomma.
Aku diam, tak berkutik dan tak
berkomentar. Entah disini siapa yang salah, siapa yang benar. Aku tak ingin
membela atau memihak siapa pun. Keduanya begitu ku sayangi, aku tak ingin
memihak. Memihak bagiku adalah kehancuran. Sudah cukup berat bagiku ketika aku
harus memilih. Memutuskan, ke depannya akan ikut siapa aku.
Dan pilihanku jatuh pada eomma.
Bukannya aku tak ingin ikut appa. Tapi, aku memang tak dekat dengannya. Aku
cenderung dekat dengan eomma. Padahal orang bilang anak perempuan lebih dekat
dengan appanya. Entahlah, itu tak berlaku untukku.
Meskipun kenyataannya aku tak dekat
dengan keduanya, aku tetap memilih eomma. Melihat pengorbanannya selama ini
pada keluarga kecil ini. Dialah orang yang selalu ku lihat pertama kali tiap
pagi, dan dia juga orang yang ku lihat terakhir di tiap malamnya. Ya, appa
terlalu sibuk bagiku. Dia selalu pergi kerja ketika aku belum terjaga, dan
selalu pulang begitu aku sudah berkelana di angkasa mimpiku.
Flashback
end
~~~
“Kyu, sungguh aku tak bisa menerima terlalu banyak
perhatianmu. Aku takut tak bisa membalasnya.” Ujarku sendu, tak berani memandangnya yang telah sedari
tadi memperhatikanku.
“Bukankah sudah kukatakan sejak lama, aku tak butuh
balasanmu. Nan
keureon saram anya (aku bukan orang yang seperti itu).”
“Tapi..”
“Sssttt.... sudahlah. Yang perlu kau pikirkan tentangku hanya
satu. Jawabanmu. Itu saja. Tak penting prosesnya, aku hanya butuh hasil akhirnya.
Yaa.. meskipun prosesnya juga adalah hal yang mendukung,” ujarnya sambil sedikit melirikku agak bergurau.
“Maaf, aku belum bisa menjawab.” Aku tambah menunduk.
“Perlu kau tahu, aku tulus melakukannya. Makanya, aku tak
butuh balasan apapun darimu. Aku jujur akan perasaanku padamu. Dan aku selalu
menginginkan segala hal yang terbaik untukmu.” Jelasnya panjang lebar.
“Ara (aku tahu). Aku bisa merasakannya. Yang jadi pikiranku
adalah aku tak tahu apa aku pantas untukmu atau tidak. Aku tak mau mengecewakanmu
nanti. Aku pun ingin yang terbaik untukmu, kyu. Kau namja (laki-laki) yang baik. Terlalu baik
malah. Terlalu sempurna bagiku, sehingga rasanya aku terlalu tak sesuai untuk
melengkapimu. Aku terlalu jauh.”
Jelasku padanya sambil menatap lurus ke depan. Memperhatikan sungai Han yang
tenang demi ketenangan hatiku.
Jantungku seakan mencelos dari
tempatnya. Seakan jatuh sedalam-dalamnya begitu kurasakan tangan kokohnya
memelukku dari samping. Membawaku pada kehangatannya. Kehangatan yang
menenangkanku. Selama 2 tahun aku mengenalnya, terhitung jari dia memelukku.
Itu pun hanya di saat-saat terdesak seperti ketika aku menangis. Dia-lah yang
selalu menyuruhku untuk jujur pada perasaanku sendiri. Menceritakan keluh
kesahku padanya. Menumpahkan air mata yang selalu mengharu-biru perasaanku.
“Kau masih ingat, bukan?! Ketika aku menceritakan keinginan
eomma untuk menikah lagi?! Appa begitu marah. Aku tahu dia begitu kecewa, kyu.
Aku merasa gagal sebagai anak mereka. Aku tak bisa membahagiakan mereka. Aku
merasa seperti tak berguna bagi mereka. Rasanya aku ingin menghilang saja dari
dunia yang angkuh ini. Kau tahu, bahkan aku berharap appa mati sebelum
pernikahanku. Aku..”
aku terisak didadanya.
“Hey, aku tak mengenal pribadimu yang seperti itu. Dan aku
tak ingin kau berharap yang bukan-bukan dalam hidupmu. Lakukanlah seperti yang
kau lakukan selama ini. Seperti moto hidupmu, mengalir seperti air... Aku akan selalu disini, disampingmu,
mendukung apa pun keputusanmu. Asal kau jangan jauh-jauh dariku, oke?!”
Aku menepuk dadanya pelan.
“ Aku tahu kau ketakutan terhadap suatu hubungan. Trauma-mu
terhadap pernikahan yang terjadi antara bumonim-mu (orangtua), seharusnya
menjadi pemicumu untuk berbuat yang lebih baik demi masa depanmu. Dan... jika
kau memilihku, kurasa kita bisa mencoba mewujudkannya. Memiliki masa depan yang
lebih indah, lebih dari siapa pun di dunia ini. Menciptakan harapan yang akan
kita lalui nanti agar menghasilkan memori paling indah dalam hidupmu dan
hidupku.”
Jangan, kyu. Jangan berkata seperti
itu. Aku takut, sungguh. Aku takut menyakiti hatimu yang begitu tulus
menyayangiku. “Kyu, jangan berjanji padaku hal seperti
itu. Itu membuatku gugup dan semakin takut.”
“kau tahu, kau takut berarti kau telah siap untuk
melakukannya. Bersamaku tentu saja. Dan kau gugup? Ya, Tuhan... aku harus
bertemu orangtuamu secepatnya, malam ini mungkin?!..” dia menggodaku lagi. Urghh.. jangan lagi! Aku semakin ingin
memilikimu.
Sepertinya aku perlu membalas
godaannya. “Kalau begitu, secepatnya... carilah
orangtua-ku. Bawa aku mewujudkan dunia kita, kyu.” Ujarku padanya setelah beberapa waktu terdiam menikmati
dekapan hangat tubuhnya. Bisa kurasakan tubuhnya menegang mendengar ucapanku.
Tak kusangka, kalimat konyol itu terlontar dari bibirku.
“K..Kau... serius?” tanyanya gugup, dia terbata-bata.
“Lalu, kau mau aku menjawab apa? Kau yang menjanjikan aku
keindahan masa depan, mana ada yang menerima manusia pembual sepertimu selain
aku, huh?” Sepertinya aku akan mati kali ini.
Mati dalam pelukanmu, huh?! Tapi, ini sayang jika dilewatkan begitu saja.
“Eiiyy,, aku tahu pesonaku memang tak mudah untuk kau hadapi,
makanya kau lebih memilih menerimaku, bukan?!” ujarnya seraya memelukku lebih erat. Tak lama kurasakan
sesuatu yang lebut dan hangat hinggap di dahiku. Dia menciumku dengan kasih
sayangnya yang sangat bisa aku rasakan menguar ke udara saat ini.
Ya, inilah hidupku.. kehidupan indah
sedang menungguku. Ya, aku sudah memutuskannya. Aku menerimanya. Mencoba
menutup kisah lama dan mulai membuka buku baru dalam episode kehidupanku. Kali
ini aku harus bersyukur, karena Tuhan telah memberi teman hidup sepertinya.
Orang yang terlalu mengerti diriku tanpa perlu kukatakan.
“Saranghae (aku mencintaimu)” ujarnya lembut.
“Nado saranghae, (aku juga mencintaimu) kyu-ya..”
~~END~~
Tidak ada komentar :
Posting Komentar